(Oleh: Ustadz DR.
Muhammad Arifin Badri, MA)
Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh
kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur
kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala
Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam
di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Ya
Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki
kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta
tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
…Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang
mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh,
niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut
pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati
keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana
halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan
berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan
tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa
pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia
cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang
sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling
menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu
digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh
berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh
harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan
hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu
dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak
dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah
persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa
harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan
utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna
dengannya, yaitu uang kertas.
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu,
ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu,
ia menuturkan:
Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dinyatakan:
Dan
pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah
sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita
dapat menyimpulkan beberapa hal:
1.
|
Nishab adalah batas minimal dari
harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib
untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan
oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah
berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan
perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan
nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar
zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di
atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap
kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
|
2.
|
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh)
dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
|
3.
|
Nishab perak, yaitu sebanyak 5
(lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
|
4.
|
Kadar zakat yang harus dikeluarkan
dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
|
5.
|
Perlu diingat, bahwa yang
dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni
(24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat. |
Orang
yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk
memilih satu dari dua cara berikut.
Cara
pertama, membeli emas atau perak sebesar
zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak
menerimanya.
Cara
kedua, ia membayarnya dengan uang kertas
yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia
bayarkan pada saat itu.
Sebagai
contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu
haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat
2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas
2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia
berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak
menerima zakat.
Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku
berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan
perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam
bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat.
Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk
kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang,
karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu
diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan,
sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika
berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau
sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,-
sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada
kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga
pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada
zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan
bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan
menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala
manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan
dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga
akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang
dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk
mengukur nilai suatu barang.
Dalam
perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang
emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat
menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah
uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat
transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan
hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh
suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang
dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan
zakat.[8]
Bila
demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab
emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang
yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal
ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di
pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga
Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 =
Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp.
14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada
tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu
uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang
tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada
saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal
yang harus ia bayarkan ialah:
Rp.
50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada
kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak
diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan
tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah
kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang
pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum
mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada
kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan
nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak
Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp.
16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi
Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh
‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki
seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau
perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan
zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan
Penting Kedua.
Dari
pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab
dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama
menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang
atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan
pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp.
10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga
memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat
2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia
miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan,
jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan
demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,-
berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp
10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT
PROFESI
Pada
zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan
zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki
gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau
penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila
seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat,
maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari
hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat.
Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai
untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.
Bila
pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak
kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan
penyelewengan tersebut:
1.
|
Zakat hasil pertanian adalah
(seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan
(seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi,
maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang
sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
|
2.
|
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang,
maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena
sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
|
3.
|
Gaji
bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara
khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti
yang menunjukkan hal itu:
Sahabat
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu pernah menjalankan suatu
tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Lalu ia pun diberi upah
oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu
menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersabda kepadanya:
“Bila
engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan
sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai
Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dibai’at untuk menjabat khilafah,
beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau
sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu,
maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab:
“Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya:
“Walaupun engkau telah mengemban
tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab:
“Subhanallah, tugas ini akan
menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab:
“Kita akan memberimu secukupmu”.
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini.
Sungguh,
kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri) Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun). |
Oleh
karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat
ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat
gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila
gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia
belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
Fatwa
serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana
telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan
perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak
(uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat
hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan
telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab
atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun.
Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan
haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil,
sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib
pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai
penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan
janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
Tidaklah
shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Semoga
pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan
zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam
bish-Shawâb.
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352).
Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya,
Fathul-Bâri (3/305).
|
|
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
|
|
Penentuan nishab emas dengan 91
3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no.
5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab
zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’
Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
|
|
Penentuan nishab perak dengan 595
gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada
berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
|
|
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani,
2/129.
|
|
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il
18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia pada fatwanya no. 9564.
|
|
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
|
|
Sebagaimana ditegaskan pada
keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami,
no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan
juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728,
dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’
Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
|
|
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa
Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
|
|
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah,
Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
|
|
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh
‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
|
|
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.
|
Sumber :
http://majalah-assunnah.com
(Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun
XII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar