Alkisah pada zaman dahulu di Nanga
Serawai, daerah Kalimantan Barat, pernah hidup seorang wanita muda
bernama Darah Muning. Pekerjaan sehari-harinya adalah menenun kain di
rumah panggungnya.
Pada suatu hari tanpa
disangka-sangka Darah Muning telah melahirkan seorang bayi lelaki. Tidak
seorang pun tetangganya di sana yang mengetahui akan ayah bayi yang dilahirkan
karena Darah Muning sangat merahasiakannya.
Putranya itu diberi nama Bujang
Munang. Ia berkembang menjadi anak yang bertubuh tegap dan berotak cerdas.
Dalam permainan, ia selalu mengungguli kawan-kawan sebayanya, sehingga mereka
sering mengolok-oloknya sebagai anak haram jadah.
Perihal tuduhan yang keji itu pernah
ditanyakan Bujang Munang kepada bundanya. Jawab ibunya adalah bahwa ayahnya
sebenarnya ada, hanya pada ketika itu sedang merantau jauh, sehingga tidak
dapat bersama-sama dengan mereka.
Pada suatu hari Darah Muning pada
waktu sedang menenun, karena ceroboh, teropongnya jatuh ke bawah terus masuk ke
kolong rumah panggungnya. Berhubung udara pada siang itu sangat panas, Darah
Muning segan untuk turun ke bawah rumah untuk mengambilnya. Ia meneriaki
putranya, yang berada di bawah rumah panggung, untuk memungutnya. Namun, karena
Bujang Munang pada waktu itu sedang asyik bermain, ia tidak menghiraukan seruan
ibunya. Dalam kemarahannya, ia telah melontarkan sekerat kayu ke arah kepala
putranya, sehingga menimbulkan luka dalam yang membekas setelah sembuh.
Beberapa tahun kemudian Bujang
Munang telah tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah dan tampan. Karena tidak
tahan akan penghinaan yang terus-menerus diperolehnya dari para remaja lainnya,
walaupun pada waktu itu usianya masih muda, ia berkeputusan merantau mencari
ayahandanya.
Mula-mula ibunya melarang
kepergiannya, namun karena sudah teguh keinginannya, maka akhirnya ibunya pun
merelakan kepergiannya. Bujang Munang pun berangkatlah.
Pulau demi pulau dijelajahi, namun
ayahnya tidak dapat dijumpainya juga. Bertahun-tahun telah lewat, sehingga pada
akhirnya, di luar tahunya, ia telah tiba kembali ke desa asalnya. Hal ini dapat
terjadi karena keadaan desanya telah jauh berubah.
Setelah beberapa waktu berada di
Nanga Serawai, Bujang Munang telah berkenalan dengan seorang wanita yang
teramat cantik. Celakanya, wanita itu ternyata adalah Darah Muning, ibu
kandungnya sendiri. Kedua belah pihak tidak sadar akan hal itu, sehingga mereka
saling jatuh cinta dan kemudian menikah.
Pada suatu ketika kepala Bujang
Munang terasa sangat gatal, maka ia minta istrinya untuk mengutuinya. Ketika
sedang asyik menangkap kutu di atas kepala suaminya, Darah Muning menemukan
cacat bekas luka di atas kepalanya, sehingga mengingatkan kepadanya akan
peristiwa beberapa tahun yang lalu, sewaktu ia dalam keadaan lupa diri telah
melukai putranya. Kepada suaminya itu, Darah Muning segera menanyakan peristiwa
terjadinya luka itu. Setelah Bujang Munang selesai menuturkan kisah terjadinya
luka pada kepalanya, Darah Muning tidak syak lagi bahwa yang dikawini ini
adalah putra kandungnya sendiri.
Keadaan celaka itu segera
diberitahukan kepada “suami”-nya. Karena kedua insan ini telah telanjur menjadi
suami istri, dan tak seorang pun dari mereka yang bersedia untuk bercerai, maka
hal itu sangat merisaukan hati mereka. Yang sangat merisaukan mereka adalah
bahwa perkawinan sumbang ini akan dikutuk para dewa.
Atas nasihat orang-orang tua desa,
mereka berkeputusan untuk mendirikan sebuah panggung tinggi yang disebut posa,
untuk menyembahkan sesajian mereka kepada para dewata. Pembuatan panggung itu
langsung ditangani Bujang Munang sendiri. Namun malang baginya, sewaktu
membelah kayu tiba-tiba kapak yang diayunkan meleset jatuh melukai alat kelaminnya
sehingga mengeluarkan banyak darah. Melihat kejadian ini, Darah Muning segera
memegang dengan kencang alat kelamin suaminya dengan maksud agar darah dapat
segera berhenti mengalir.
Rupanya perbuatan ini dianggap tidak
senonoh oleh para dewata, sehingga menimbulkan amarah mereka. Tiba-tiba udara
menjadi gelap gulita, petir kilat bergelegar sambung-menyambung. Setelah udara
cerah kembali seperti sedia kala, terlihat bahwa Bujang Munang, Darah Muning,
dan panggung persembahan sesajian mereka telah berubah menjadi batu.
****
*Termasuk contoh cerita yang
mengandung tipe Oedipus. Cerita lain bertipe ini adalah dongeng Sang Kuriang
atau disebut juga “Legenda Terjadinya Gunung Tangkubanperahu” dari Jawa Barat,
mite “Prabu Watu Gunung” dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
sumber :
https://www.facebook.com/KDdanCR
setau saya nama ibu nya adalah DARA muning, bukan DARAH muning
BalasHapus